Tuesday, April 22, 2014

Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan memegang peranan penting dalam menentukan suatu kebijakan dapat berjalan sukses atau tidak. Pada tahap ini suatu kebijakan akan diuji dilapangan apakah kebijakan itu bisa dijalankan atau tidak? Jika bisa dijalankan apakah berjalan dengan baik atau tidak?
Udoji memberikan penekanan tentang pentingnya implementasi ini sebagai sesuatu yang penting daripada pembuatan kebijakan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.[1]
Melihat pentingnya tahapan implementasi dalam proses kebijakan, maka perlu dipahami dahulu pengertian tentang implementasi itu sendiri. Pengertian implementasi menurut Van Meter dan Van Horn adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta, yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.[2]
Kemudian menurut Mazmanian dan Sabatier, implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah sesuatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.[3]
Sementara menurut I Nyoman Sumardi implementasi kebijakan adalah suatu aktifitas atau kegiatan dalam rangka mewujudkan atau merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya, yang dilakukan oleh organisasi badan pelaksana melalui proses administrasi dan manajemen dengan memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu.[4]
Berdasar beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang/kelompok/lembaga publik yang diberi wewenang oleh kebijakan publik untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dalam kebijakan publik tersebut.
Dalam implementasi kebijakan ada beberapa faktor yang memengaruhi berhasil tidaknya suatu kebijakan dijalankan. George C. Edward III memberikan empat faktor yang menentukan suatu kebijakan berjalan baik atau tidak. Keempat faktor tersebut adalah:[5]
1)      Komunikasi. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran, sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkingan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
2)      Sumberdaya. Berkenaan dengan sumber daya pendukung untuk melaksanakan kebijakan yaitu:
a.     Sumber daya manusia: merupakan aktor penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan dan merupakan potensi manusiawi yang melekat keberadaannya pada seseorang meliputi fisik maupun non fisik berupa kemampuan seorang pegawai yang terakumulasi baik dari latar belakang pengalaman, keahlian, keterampilan dan hubungan personal.
b.   Informasi: merupakan sumberdaya kedua yang penting dalam implementasi kebijakan. Informasi yang disampaikan atau diterima haruslah jelas sehingga dapat mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kebijakan atau program.
c.     Kewenangan: hak untuk mengambil keputusan, hak untuk mengarahkan pekerjaan orang lain dan hak untuk memberi perintah.
d.   Sarana dan prasarana: merupakan alat pendukung dan pelaksana suatu kegiatan. Sarana dan prasarana dapat juga disebut dengan perlengkapan yang dimiliki oleh organisasi dalam membantu para pekerja di dalam pelaksanaan kegiatan mereka.
e.  Pendanaan: membiayai operasional implementasi kebijakan tersebut, informasi yang relevan, dan yang mencukupi tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan, dan kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal ini dimaksud agar para implementator tidak melakukan kesalahan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
3)      Disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4)      Struktur birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar, atau SOP. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.


Empat faktor penentu implementasi yang dijelaskan oleh Edward tidak selamanya dapat berjalan mulus tanpa hambatan. Justru pada prakteknya dewasa ini implementasi kebijakan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dalam kebijakan itu sendiri. Sehingga Dunrise menyebut fenomena ini dengan istilah implementation gap.[6] Besar kecilnya perbedaan tersebut sedikit banyak akan tergantung pada apa yang oleh Williams disebut dengan implementation capacity[7] dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi yang dipercaya untuk mengemban tugas melaksanakan kebijakan tersebut. Implementation capacity adalah kemampuan aktor atau suatu organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat tercapai.[8]
Saat keempat faktor penentu implementasi tersebut tidak berada dalam kondisi yang baik, membuat kegagalan implementasi berada di depan mata. Kegagalan implementasi tersebut dibedakan menjadi dua kategori. Menurut Hogwood dan Gunn dua kategori tersebut adalah non-implementation atau tidak terimplementasikan dan unsuccessful implementation atau implementasi yang tidak berhasil.[9] Non-implementation berarti suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai rencana, mungkin karena pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama atau telah bekerja sama secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau karena tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang diselesaikan di luar jangkauan kekuasaannya sehingga betapapun gigihnya usaha mereka, hambatan yang ada tidak sanggup ditanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sukar dipenuhi.[10]


[1] Dalam I Nyoman Sumardi, op. Cit., hlm. 86.
[2] Ibid., hlm. 85.
[3] Ibid., hlm. 87.
[4] I Nyoman Sumardi, ibid.
[5] Dalam Subarsono, op. Cit., hlm. 90-92.
[6] Dalam Wahab dikutip oleh I Nyoman Sumardi, op. Cit., hlm. 84.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.

No comments:

Post a Comment