A. Definisi Keadaan Darurat
Keadaan darurat disini berarti keadaan yang dapat menimbulkan akibat yang tidak dapat diprediksi. Ketika keadaan darurat terjadi maka pranata hukum yang ada terkadang tidak berfungsi untuk menjangkaunya. Untuk itulah dibutuhkan perangkat aturan hukum tertentu yang dapat melakukan pengaturan dalam keadaan darurat.
Menurut Herman Sihombing keadaan bahaya, yakni sebuah rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.
Dalam keadaan normal sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan konstitusi dan produk hukum lain yang resmi. Dalam keadaan abnormal sistem hukum tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Maka pengaturan keadaan darurat mempuinyai arti penting sebagai dasar hukum bagi pemerintah mengambil tindakan guna mengatasi keadaan abnormal tersebut. Pada keadaan abnormal (darurat) pranata hukum yang diciptakan untuk keadaan normal tidak dapat bekerja.
Hukum tata negara darurat menurut doktrin ada dua yakni hukum tata negara darurat objektif dan subjektif. Hukum tata negara darurat subjektif adalah hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan ketentuan undang-undang dasar. Sedangkan hukum tata negara darurat objektif adalah hukum tata negara yang berlaku ketika negara berada dalam keadaan darurat, bahaya, atau genting.
Keadaan bahaya atau darurat harus dapat didefinisikan. Pemberian cakupan ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. Karena dalam keadaan tersebut negara dapat melakukn tindakan apapun termasuk membatasi hak warga negara. Kim Lane mengemukakan keadaan darurat menyangkut hal yang ekstrim, di luar kebiasaan. Sehingga negara perlu melanggar prinsip yang dianutnya sendiri guna menyelamatkan diri dari keadaan tersebut.
Di Indonesia, perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai dasar dari tidakan pemerintah untuk membentuk Perppu dalam rangka penyelamatan kepentingan bangsa dan negara, dapat ditemukan landasan hukumnya dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 menegaskan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”.Pasal 22 menegaskan bahwa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka dapat diketahui adanya 2 (dua) kategori dari adanya keadaan yang tidak biasanya dari negara dan keadaan darurat negara (state of emergency) yakni Pertama, keadaan bahaya, dan Kedua, hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua kategori tersebut mempunyai makna yang sama sebagai keadaan darurat negara (state of emergency), namun keduanya mempunyai perbedaan pada penekanannya yakni istilah keadaan bahaya lebih menekankan pada strukturnya (faktor eksternal) sedangkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa lebih menekankan pada isinya (faktor internal).
Penggunaan kedua pasal tersebut sangat berbeda yakni Pasal 12 UUD 1945 lebih berfokus pada kewenangan Presiden selaku kepala negara untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari gangguan luar negara, sedangkan penggunaan Pasal 22 UUD 1945 berada pada ranah (domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu. Dengan demikian lebih menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum yang bersifat mendesak. Itulah sebabnya maka apabila dicermati ketentuan UUD 1945 maka terdapat 3 (tiga) unsur penting secara bersama-sama (kumulatif) yang membentuk pengertian keadaan darurat bagi negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu: pertama, unsur adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat); kedua, unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga, unsur adanya keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.
Dalam praktiknya di Indonesia berbagai varian dibentuknya Perppu tidak memenuhi unsur-unsur keadaan darurat negara (state of emergency) secara kumulatif sebagaimana dikemukakan di atas sehingga dipertanyakan esensinya apakah pembentukan Perppu yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut secara bersamaan benar-benar sesuai dengan amanah UUD 1945 atau untuk kepentingan bangsa dan negara atau hanya untuk kepentingan Presiden dan kroninya atau untuk kepentingan sekelompok golongan saja. Hal pembentukan Perppu dengan tujuan untuk kepentingan Presiden dan kroninya atau hanya untuk kepentingan segelintir golongan saja memang bisa terjadi, sebab sebagaimana dikatakan oleh Imran Juhaefah, dalam ketentuan UUD 1945 perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai suatu keadaan darurat negara (state of emergency) tidak ditemukan landasan hukumnya yang tepat. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara konstitusional berkenaan hak Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, apakah yang dimaksud dengan keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa dan dalam keadaan bagaimana sehingga suatu keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa dapat dikualifisir sebagai keadaan darurat negara, hal ini tidak ditemukan dalam rumusan pasal-pasal dalam UUD 1945.
Lanjutannya silahkan baca:
B. Kriteria Keadaan Darurat
C. Pihak yang Berwenang dalam Keadaan Darurat
Lanjutannya silahkan baca:
B. Kriteria Keadaan Darurat
C. Pihak yang Berwenang dalam Keadaan Darurat
DAFTAR PUSTAKA
http://fatahilla.blogspot.com/2009/07/hukum-tata-negara-darurat.html?m=1. Diakses pada 10 Febuari 2013 pukul 03.08 WIB.
Perppu No 23 tahun 1959
Undang-Undang Dasar 1945
Tulisan lengkap bisa download disini
No comments:
Post a Comment