Friday, March 28, 2014

Potensi Masalah UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Tanah

A.    Latar Belakang Lahirnya UU No. 2 Tahun 2012
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin tinggi membawa dampak meningkatnya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Dalam pelaksanaannya pembangunan infrastruktur membutuhkan tanah yang mana selama ini pengadaannya sulit dan memakan waktu lama. Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Pemerintah Badan Pertanahan Nasional Afrizal bahwa, alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 karena pelaksanaan pengadaan tanah sekarang ini masih lambat dalam mendukung pembangunan infrastruktur.
Pelaksanaan pengadaan tanah selama ini menurutnya juga masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya. 

Maka dari itu dalam UU No. 2 Tahun 2012 dijelaskan bahwa tanah diperlukan untuk pembangunan kepentingan umum, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. Selain itu juga karena peraturan yang ada saat ini belum dapat mendukung perolehan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Oleh karena itu, pengadaan tanah untuk kepentingan umum perlu diatur dengan undang-undang agar pembangunan infrastruktur dapat dipercepat dan memberikan kepastian hukum, yang akhirnya akan mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.

Selain alasan-alasan di atas, latar belakang lahirnya undang-undang ini juga dipengaruhi oleh pertemuan-pertemuan internasional, dan juga berbagai perencanaan strategis pembangunan Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Sukardi Bendang dalam makalah bertema “Pemanfaatan Tanah Adat Untuk Kepentingan Penanaman Modal”  di Padang, 8 Desember 2011, seperti  :
·         Pertemuan ke empat para Menteri bidang Infrastruktur di Bali 14-15 Oktober 2003
·         Infrastructure Summit, tanggal 17-18 Januari 2005 di Jakarta, pelibatan swasta pembangunan infrastruktur.
·         Lahir payung hukum untuk investasi swasta Perpres No 65 Tahun 2006 yang memberikan landasan bagi pengambil alihan tanah rakyat (sebelumnya Perpres 36 tahun 2005).
·         UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, masa HGU (Hak Guna Usaha) sampai 95 tahun.
·         Konferensi Tingkat Menteri Asia Pasifik untuk kerjasama pemerintah dan swasta dalam bidang pembangunan infratsruktur (public privat partnership (PPP) tahun 2008 di Seoul Korea Selatan.
·         Hasil: resolusi UNESCAP No 64/4 dan Deklarasi Seoul tentang PPP yang merekomendasikan kerjasama negara-  negara Asia Pasifik untuk  pembangunan infrastruktur dan konstruksi di kawasan.
·         Konferensi Tingkat Menteri Asia Pasifik (agenda : Kerja Sama Pemerintah dan Swasta dlm pengembangan infrastruktur) dalam rangkaian pertemuan international Infrastructure Asia – Pasifik 2010 pada 14-17 April 2010 (BAPPENAS)
·         Rekomendasi :  mekanisme Kerja Sama Pemerintah dan Swasta serta Payung hukum investasi
·         Pertemuan sektoral lanjutan lainnya antara swasta dan pemerintah.
2. Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MPPEI) 2011-2025
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ,dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengeluarkan MPPPEI  2011 – 2025 (21 Februari 2011) membagi Indonesia dalam 6 koridor ekonomi:
·         Koridor Sumatera ( sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional  (sektor fokus & strategi : Minyak Sawit, Karet dan Batu Bara)
·         Koridor Jawa (pendorong industri dan jasa)
·         Koridor Kalimantan (pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan  lumbung energi nasional)
·         Koridor  Sulawesi –  Maluku Utara (pusat produksi &  pengolahn hasil pertanian,perkebunan dan perikanan nasional)
·         Koridor  Papua – Maluku (pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan sdm yang sejahtera)
·         Koridor Bali – Nusa Tenggara (pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional)

B.     Kepentingan yang Mengikuti lahirnya UU No. 2 Tahun 2012
Tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang dan produk hukum lainnya merupakan hasil dari proses politik, yang tentu saja didalamnya terdapat berbagai kepentingan terhadap adanya undang-undang atau aturan hukum tersebut. Begitupun dalam proses lahirnya undang-undang ini, kepentingan swasta dan bisnis sangat terlihat atas nama kepentingan umum. Meskipun definisi kepentingan umum itu sendiri juga belum jelas, dalam pasal 10 dijelaskan bahwa yang dimaksud kepentingan umum lebih bersifat pembangunan fisik seperti jalan tol dan pelabuhan, yang otomatis banyak menguntungkan pihak swasta. 

Arie Sukanti Hutagalung Guru Besar Hukum Pertanahan Universitas Indonesia (UI) juga mengungkapkan bahwa, disusunnya undang-undang ini cukup politis, karena terkait dengan kepentingan sejumlah politisi dalam bisnis sejumlah infrastruktur, utamanya jalan tol. Bahkan Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Badan Pertanahan Nasional Noor Marzuki mengatakan, "Banyak korban akibat proses pengadaan tanah, bupati/ wali kota dan sekda harus masuk penjara, tidak sedikit pula pegawai BPN yang juga terpaksa harus berurusan dengan hukum”.

 Hal ini mencerminkan bahwa undang-undang ini secara tidak langsung menguntungkan para pengusaha, karena mereka bisa berdalih ‘merampas’ tanah rakyat untuk kepentingan umum. Patut di ingat pula, pembahasan undang-undang ini juga mendapat bantuan dari ADB yang memiliki banyak proyek infrastruktur di Indonesia. Dengan dalil pembangunan sebagaimana yang dikehendaki Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia dan Japan Bank for International Cooperation/ JBIC, pemerintah telah menelan bulat-bulat segala yang diperintahkan oleh lembaga lembaga-lembaga donor tersebut.

Terlihat jelas disini kepentingan masyarakat kecil tidak semuanya terakomodasi dalam undang-undang ini. Karena definisi kepentingan umum yang tidak jelas, sedangkan dari pasal 10 undang-undang ini kepentingan umum digunakan untuk membangun antara lain :
1.pertahanan dan keamanan nasional;
2.jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
3.waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
4.pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5.infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6.pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
7.jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
8.tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9.rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10.fasilitas keselamatan umum;
11.tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12.fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
13.cagar alam dan cagar budaya;
14.kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
15.penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
16.prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
17.prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
18.pasar umum dan lapangan parkir umum.
Kepentingan umum disini bersifat pembangunan fisik, jika kita melihat lahan pertanian yang makin sempit namun perannya sangat penting untuk kesejahteraan bersama, apakah juga disebut kepentingan umum dan kepentingan pembangunan? Karena jika dilihat, karakteristik pertanian ini juga bisa masuk seperti minyak dan gas bumi yang bermanfaat untuk orang banyak, namun mengapa sawah dan pertanian ini tidak masuk kedalam kepentingan umum? Sebab disini yang diuntungkan adalah para pengusaha besar sedangkan petani kecil tidak. Maka dari itu undang-undang ini tidak mengakomodasi kepentingan petani, baik oleh pemerintah maupun DPR. Akibatnya petani akan menjadi korban pembangunan yang mengharuskan mengambil lahan pertanian, yang mana jika lahan pertanian semakin sedikit maka ketahanan pangan dan kepentingan umum juga terganggu.

Masalah ini diungkapkan oleh Sukardi Bendang, masih dalam makalah bertema “Pemanfaatan Tanah Adat Untuk Kepentingan Penanaman Modal”  di Padang, 8 Desember 2011, bahwa UU ini tidak akan belaku efektif untuk menyelenggarakan pembangunan yang berkeadilan rakyat karena sejumlah prasyarat belum tersedia :
·         Petani dan rakyat miskin lainnya belum di berikan hak atas tanah sebagai sumber ekonomi keluarganya (pendistribusian tanah)
·         Pengakuan formal terhadap hak-hak masyarakat belum  diberikan dan dilaksanakan secara penuh termasuk hak adat belum dibuat partisipatif, integratif dan dilaksanakan secara konsisten (RTRW di buat berdasarkan kepentingan segelintir orang)
·         Akses petani dan masyarakat terhadap informasi pada badan-badan publik belum terpenuhi.
·         Tidak adanya mekanisme keberatan yang dapat diakses publik dengan mudah.
·         Belum terciptanya peradilan yang bersih dan memenuhi rasa keadilan petani dan rakyat kecil.

C.    Potensi masalah yang timbul akibat lahirnya UU No. 2 Tahun 2012
Kehadiran UU No. 2 Tahun 2012 ini harus diakui merupakan kemajuan dalam perolehan tanah untuk kepentingan umum, setelah selama ini perolehan tanah cukup rumit dilakukan dan memakan banyak waktu serta biaya. Dengan undang-undang ini kepastian hukum terhadap tanah yang akan digunakan lebih terjamin, begitupun jangka waktu prosesnya lebih terjamin, yakni tidak lebih dari dua tahun. 

Namun demikian, menurut Arie Sukanti yang berpotensi menimbulkan masalah adalah budaya hukum dan budaya kerja birokrasi di Indonesia, yang belum cukup menunjang proses yang cepat. “Sampai saat ini, kita masih akrab dengan budaya kerja birokrasi yang kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat,”. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan ehari-hari, tidak hanya dalam pengurusan tanah, melainkan dalam pelayanan birokrasi lain juga kita sering dibuat marah karena lambannya kinerja birokrat kita. Maka dari itu potensi masalah yang timbul justru dari dalam diri kita sendiri yang belum siap terhadap perubahan, PR besar bagi bangsa ini jika ingin berubah dan maju.

Sementara itu, Marwan Batubara mencermati potensi aji mumpung (moral hazard) dalam keseluruhan proses pengadaan tanah, karena begitu banyaknya instansi yang terlibat di dalamnya, serta pelaksana yang berganti- ganti di setiap tahapan. Untuk menghindari ini, pemerintah pusat dan daerah harus menjamin proses pengadaan tanah sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, yakni transparan, akuntabel, efisien, efektif, proaktif, profesional, partisipatif, taat hukum, dan berwawasan ke depan.

Selain itu ditunjuknya Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penyelenggara dalam tahap pelaksanaan pengadaan tanah, dengan pelaksananya Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN. Sedangkan dalam tahap persiapan pengadaan tanah, ketua pelaksananya adalah bupati/ walikota. Menurut Arie Sukanti merupakan pembagian tugas yang terbalik dan tidak fungsional, sebab yang diperlukan BPN adalah peta tanah. Sehingga BPN mestinya sebagai ketua pelaksana dalam tahap persiapan, sedangkan pelaksanaan pengadaan tanah, bupati/walikota adalah pelaksananya.

No comments:

Post a Comment