Saturday, January 26, 2013

Jual Beli ‘Saham’ Partai Politik

Dinamika politik Indonesia saat ini sangat cepat berubah dan berkembang seiring dengan perjalanan bangsa ini khususnya sejak reformasi 1998. Hal ini dapat kita lihat dengan banyaknya partai-partai politik baru dan juga berbagai perusahaan-perusahaan baru bermunculan,
baik asing maupun dalam negeri yang saat ini menikmati kebebasan hasil reformasi tersebut.
Diawali dengan pergantian presiden dari Soeharto kepada Habibie, hingga pemilihan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden oleh MPR. Perjalanan politik negeri ini dipenuhi oleh persaingan elit-elit dari berbagai kalangan mulai pemerintahan, legislatif, partai politik, hingga pengusaha. Sampai puncaknya ketika presiden K.H. Abdurrahman Wahid dilengserkan dari jabatan presiden dan digantikan wakilnya saat itu Megawati Soekarno Putri, yang kemudian menjabat presiden Indonesia sampai tahun 2004.
Keran kebebasan yang sudah terlanjur dibuka saat reformasi membuat masyarakat kita tergagap menghadapi kebebasan, yang tiba-tiba datang setelah sekian lama terkekang dalam otoritarisme orde baru. Modal-modal asing pun mulai berdatangan masuk ke Indonesia menancapkan akarnya memulai bisnis multinasionalnya. Tidak mau ketinggalan pengusaha-pengusaha nasional mulai bangkit kembali, membangun kerajaan bisnisnya yang sempat hancur setelah didera krisis keuangan saat reformasi terjadi. Begitu pun dengan partai politik di Indonesia yang mulai tumbuh kembali setelah sekian lama tidak dapat muncul, menandai era baru kehidupan politik dan bernegara di negeri ini yang dulu menjadi impian.
Pertumbuhan partai politik tersebut terlihat jelas ketika mulai diadakannya pemilu secara langsung pertama kali pada tahun 2004, begitu juga pada pemilu  2009 dan yang akan datang dalam pemilu 2014. Banyak partai-partai besar yang sudah ada melahirkan kembali partai-partai baru, dalam artian kelompok tertentu dalam partai tersebut kalah bersaing dengan kelompok yang lebih kuat dalam partainya sendiri. Karena kelompok yang kalah tersebut merasa memiliki kemampuan dan kapasitas untuk bersaing dengan partainya, maka terjadi migrasi keluar beberapa elit partai-partai besar tersebut yang kemudian mendirikan partai-partai baru. Dengan harapan melalui partai barunya itu ia dapat leluasa menggunakan dan mengungkapkan gagasan-gagasannya, yang dulu mungkin tidak atau kurang dihargai di partainya sendiri.
Fenomena pertumbuhan partai politik ini seperti jamur di musim hujan, dimana seseorang maupun kelompok mudah sekali mendirikan partai. Tentu saja hal ini tidak baik bagi perkembangan politik di Indonesia, ketika orang - orang bebas mendirikan partai politik maka mereka membutuhkan sumber daya yang besar untuk mewujudkannya, tidak terkecuali sumber daya ekonomi. Karena untuk mendirikan sebuah partai politik merupakan pekerjaan yang rumit dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka dari itu banyak partai – partai baru maupun yang sudah lebih dulu ada menggandeng pengusaha dan pemilik modal untuk bergabung bersamanya. Dengan modal yang dimikinya, pengusaha yang bergabung dalam partai dapat memperoleh fasilitas dan keistimewaan lebih dibanding dengan anggota partai lainnya.
Dengan kebutuhan akan modal yang semakin besar dalam partai politik membuat keberadaan partai politik saat ini tidak lebih dari sebuah ‘perusahaan terbuka’, yang menjual ‘saham-saham perusahaannya’ kepada orang-orang yang memiliki modal. Mengapa demikian? Jika kita lihat kecenderungan partai politik beberapa tahun terakhir, mereka menempatkan para pemilik modal dalam posisi strategis di dalam partai, hampir sama seperti keadaan di dalam perusahaan. Di dalam sebuah perusahaan terbuka mereka menjual saham-saham perusahaannya untuk mendapatkan modal guna memenuhi biaya operasional perusahaan. Ketika ada seseorang atau perusahaan lain yang memiliki modal besar dan membeli sebagian atau mayoritas saham perusahaan tersebut, maka ia akan menempati posisi strategis dalam perusahaan, seperti komisaris maupun menempatkan orangnya untuk menjabat jabatan penting di perusahaan. Hal itu dapat terjadi karena besarnya investasi orang tersebut kepada perusahaan dengan membeli cukup banyak saham mereka. Namun jika masyarakat biasa yang membeli hanya beberapa saham saja, maka ia tidak akan memiliki posisi dan kekuasaan sebesar mereka yang membeli cukup banyak saham.
Dalam partai politik hal itu juga terjadi. Dengan modal yang cukup besar seseorang dapat masuk dan menempati posisi strategis dalam partai, namun bagi anggota yang memiliki keterbatasan modal mereka hanya mampu membayar iuran partai. Sehingga orang yang memiliki modal sedikit ini tidak memiliki posisi, kekuasaan, dan kekuatan sebesar mereka yang memiliki segalanya. Kecenderungan orang-orang yang bermodal besar ini adalah pengusaha yang terjun dalam dunia politik, mereka terjun dengan berbagai tujuan dan latar belakang. Dengan adanya persaingan modal di partai politik ini maka akan membuat kelas-kelas antara para pemilik modal dengan mereka yang tidak memiliki modal. Kelas-kelas ini pada akhirnya merembet keluar kedalam kehidupan sosial mereka. Orang-orang yang bermodal besar baik dalam partai maupun kehidupan sosial memiliki posisi dan kekuasaan yang lebih baik dan dominan dibanding mereka yang tidak.
Jika kita melihat teori Marx maka keberadaan kelas-kelas ini adalah akibat dari kapitalisme yang lebih berorientasi kepada ekonomi, dalam hal ini adalah modal atau kekuatan ekonomi yang mulai masuk kedalam partai politik dan kehidupan politik di Indonesia. Dengan adanya kelas-kelas seperti itu maka menurut Marx tidak terjadi kesamarataan antara pemilik modal dan tidak, akibat ketidak samarataan itu maka akan menimbulkan masalah sosial.
Di Indonesia sendiri masalah kelas akibat kapitalisme ini membuat politik negeri ini lebih berorientasi kepada ekonomi, karena tidak bisa dipungkiri modal yang diperlukan sangatlah besar. Selain itu akibat persaingan modal ini maka  kesempatan seseorang untuk menuju jenjang selanjutnya baik didalam partai maupun di pemerintahan semakin tertutup. Ini terjadi karena orang-orang harus bersaing untuk memperebutkannya dan pada akhirnya kemenangan itu bisa dibeli dengan modal yang besar. Sehingga pemimpin-pemimpin yang berkualitas di negeri ini sulit untuk menampakkan dirinya jika tidak mempunyai basis ekonomi yang kuat. Hal itu dapat kita lihat di beberapa partai politik tanah air dimana posisi strategisnya banyak diisi oleh pengusaha-pengusaha yang notabenenya memang memiliki modal besar.
Politik dan ekonomi sebagaimana diungkapkan dalam madzhab Frankfurt merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perubahan dinamika sosial dalam masyarakat. Dan saat ini hal itu dapat kita lihat di Indonesia, ketika partai politik berafiliasi dengan pemodal-pemodal besar yang menawarkan sumber ekonomi bagi partai dan partai politik sendiri menawarkan ‘sahamnya’ kepada pemilik modal. Akibatnya saat ini Indonesia mengalami krisis kepartaian bukan krisis kepemimpinan, karena pemimpin di Indonesia sebenarnya cukup banyak. Namun mereka tidak bisa muncul kepermukaan karena kalah dan kemudian tertelan oleh para pemilik modal. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Edwin H. Sukowati Ketua Dewan Pembina Pemuda Demokrat (PD) Indonesia yang mengatakan “kita ini bukan krisis kepemimpinan nasional, tapi krisis kepartaian. Banyak calon pemimpin nasional, namun dia tak ada kesempatan karena partai sudah berubah jadi agen liberal kapitalis” (16/6/12). Ditambah dengan peran partai politik sebagai lembaga superstruktur yang ikut menentukan arah kebijakan dan perjalanan negeri ini melalui wakil mereka di elit-elit pemerintahan dan parlemen, sehingga bukan tidak mungkin negara ini justru digunakan dan dimanfaatkan oleh mereka demi keuntungan dan kepentingan kelompok mereka.
Peristiwa ini sesuai dengan pendapat Herbert Marcuse yang menyatakan bahwa masyarakat modern memiliki ciri yang menonjol yaitu peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rasionalitas dalam kapitalisme modern adalah rasionalitas teknologi, dimana dalam memandang segala sesuatu adalah yang dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dan dimanipulasi. Dalam konteks politik di negeri ini para pengusaha yang memiliki modal, teknologi, dan ilmu pengetahuan akan menggunakan berbagai cara untuk dapat menguasai dan menggunakan faktor-faktor ekonomi yang ada, seperti afiliasi dengan partai-partai politik yang banyak terjadi saat ini.
Akibat krisis kepartaian ini maka terjadi kejenuhan dalam masyarakat, kejenuhan karena saluran politik masyarakat tertutup oleh pemilik modal. Sampai akhirnya kejenuhan itu berujung kepada individualistik dan apatisme masyarakat kepada politik termasuk partai politik. Dengan kecenderungan apatisme justru meningkat pada masyarakat yang lebih memiliki kemampuan ekonomi dari pada mereka yang tidak. Hal ini dapat terjadi karena selain faktor ekonomi juga faktor teknologi dan pengetahuan yang semakin baik pada masyarakat, sehingga tanpa disadari kapitalisme modern telah mempengaruhi kehidupan mereka dan membuat selubung untuk menutupi kapitalisme baru tersebut. Sebagaimana dalam teori Marx mengatakan bahwa kapitalisme membawa individu memisahkan diri dari dirinya sendiri, dan timbul pemisah antara individu dengan proses produksi yang ada.
Seperti diungkapkan dalam madzhab Frankfurt bahwa kedua hal diatas juga merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Karena menurutnya semua pengetahuan bersifat ideological, yang mengartikan semua pengetahuan merupakan cerminan dari ide, nilai, dan kepentingan-kepentingan kelompok. Oleh karena itu budaya dan ideologi yang ada dalam masyarakat saat ini berperan penting dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat, jika pola pikir masyarakat saat ini adalah kapitalis alias mengutamakan faktor ekonomi. Maka diperlukan pola pikir baru bahwa manusia merupakan makhluk sosial bukanlah faktor produksi, sehingga pola pikir yang lama dapat di rubah dan terjadi kesamarataan dalam masyarakat. Begitu juga dengan partai politik harus memegang teguh ideologi partainya serta tidak terjebak dalam kapitalisme modern sehingga praktek jual beli ‘saham’ dapat dihentikan. Dan seluruh warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam berpolitik, sehingga tidak lagi terjadi krisis kepemimpinan akibat krisis kepartaian karena semua pemimpin negeri ini memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan tampil.

No comments:

Post a Comment